Negosiasi secara harafiah berarti ‘perundingan’, maksudnya adalah unpaya untuk mengatasi perbedaan pendapat antara kedua belah pihak. Negosiasi yang baik dan eferktif adalah negosiasi yang berdasarkan data riil, akurat, dan faktual. Negosiasi adalah salah satu keterampilan komunikasi, karena menyatakan pesan dan melakukan pendekatan secara khusus kepada pihak lain untuk mendapatkan tujuan tertentu. Secara sederhana, negosiasi terjadi bila orang lain memiliki apa yang kita inginkan dan kita bersedia menukarnya dengan apa yang diinginkan mereka. Negosiasi merupakan ketrampilan yang bisa dipelajari dan dilatih.
Menurut Hartman, Proses komunikasi antara dua pihak, yang masing-masing mempunyai tujuan dan sudut pandang mereka sendiri, yang berusaha mencapai kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak mengenai masalah yang sama. Sedangkan menurut Stephen Kozicki, negosiasi adalah seni mencapai persetujuan dengan memecahkan perbedaan melalui kreatifitas. Menurut Wikipedia, negosiasi merupakan interaksi yang saling mempengaruhi. Misalnya, termasuk proses dalam menyelesaikan perbedaan pendapat, menyetujui suatu tindakan, membuat tawaran untuk kepentingan individu maupun kelompok, atau menciptakan hasil yang dapat memenuhi berbagai kepentingan. Negosiasi yang saling menguntungkan selalu lebih disukai, dimana kedua pihak berhasil dan puas dengan apa yang mereka inginkan.
Definisi-definisi di atas merupakan inti dari terjadinya negosiasi yang menggambarkan bahwa negosiasi ada untuk memenangkan kedua belah pihak. Oleh sebab itu, ingatlah bahwa dalam banyak negosiasi, setiap orang mempunyai keinginan yang besar untuk menang. Artinya, tak jarang kita harus berhadapan dengan negosiator yang agresif atau manipulative. Kecenderungan untuk menghadapi mereka dengan cara yang sama adalah godaan terbesar untuk kita. Jika lawan negosiasi berteriak kepada kita, kita juga mungkin akan membalas teriakannya. Namun, strategi yang jauh lebih baik adalah tetap bersikap tenang dan menghadapi serangan orang tersebut dengan sikap tegas namun sopan.
Memilih perilaku yang tepat saat bernegosiasi bisa menjadi faktor penentu keberhasilan atau kegagalan. Perilaku asertif adalah perilaku yang dianjurkan, meskipun perilaku-perilaku lain juga perlu digunakan. Kita sebaiknya selalu berperilaku asertif ketika sedang bernegosiasi dengan lawan. Perilaku ini memaksimalkan peluang untuk mencapai hasil win-win. Namun, selalu sadari bahwa kita mungkin saja harus menggunakan jenis perilaku dan pendekatan yang berbeda-beda untuk setiap negosiasi. Tidak ada model yang ideal untuk bernegosiasi. Jangan lupa, kadang kala kita boleh memilih untuk tidak berlaku asertif dalam situasi khusus, misalnya jika perilaku asertif mungkin akan menimbulkan konflik yang tidak ingin dihadapi. Kondisi ini juga terjadi ketika masalah yang ada atau hubungan dengan lawan negosiasi tidak terlalu penting bagi kita.
Berikut ada empat macam perilaku yang bisa kita pilih ketika berhadapan dengan lawan negosiasi:
1. Perilaku Asertif
Negosiator yang memilih berlaku asertif akan memperlakuakn orang lain dengan hormat dan tulus. Berlaku asertif berarti menerima karakteristik diri, baik yang positif maupun yang negatif. Dengan berlaku demikian, kita juga akan lebih mudah menerima keberadaan orang lain. Hasilnya, kita tidak merasa perlu mengalahkan lawan karena tidak merasa harus selalu menang. Perilaku asertif meliputi:
• Bertanggung jawab atas pilihan dan perilaku sendiri
• Menentukan batasan sehingga lawan mengetahui posisi mereka saat sedang bersama kita
• Berkomunikasi dengan jelas.
Berlaku asertif berarti memilih pendekatan yang positif dan proaktif. Perilaku ini berakar pada penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri. Perilaku asertif adalah jenis perilaku yang memiliki peluang terbesar untuk memberikan hasil yang kita cari, meskipun tidak menjamin kita akan selalu mendapatkan keinginan kita.
Berlaku asertif berarti mau berkompromi dan bernegosiasi untuk mencapai hasil win-win. Perilaku ini sering disalahartikan sebagai agresi. Perilaku asertif memang tidak mudah diterapkan.
2. Perilaku Agresif
Perilaku agresif adalah perilaku yang kompetitif. Tujuan utama perilaku ini, baik yang terlibat maupun tidak, adalah untuk menjadi pemenang. Dalam kondisi ini, harus ada seseorang yang kalah. Negosiator agresif biasanya mencapai tujuannya dengan mematahkan semangat lawan negosiasi atau mengabaikan perasaan, keinginan, dan hak mereka. Negosiator agresif tidak mau mem[ertimbangkan sudut pandang lawan. Ketika dihadapkan pada sebuah konflik atau konfrontasi, negosiator agresif akan menaggapinya dengan serangan balik secara terang-terangan. Perilaku agresif mengakibatkan reaksi emosional yang berlebihan: kita memilih melakukan serangan verbal ataupun fisik, meninggalkan jejak perasaan sakit hati atau tehina. Orang berlaku agresif sering kali tidak yakin dengan diri mereka sendiri dengan menggunakan agresi sebagai mekanisme pertahanan diri.
Agresi bukanlah perilaku yang efektif dalam negosiasi. Perilaku itu memungkinkan kita mencapai keinginan jangka pendek. Namun, untuk jangka panjang, perilaku ini bisa membuat pihak lawan memendam rasa kesal dan dendam. Sebagai akibatnya, negosiasi ini, cepat atau lambat, akan membawa hasil win-lose.
3. Perilaku pasif
Seorang yang menunjukkan perilaku pasif bisa dianggap sebagai korban yang tidak berdaya. Tipe orang seperti ini adalah makan empuk bagi taktik agresif yang telah disebut sebelumnya.
Negosiator pasif kurang percaya diri dan memainkan peran yang hampir tidak terlihat selama negosiasi. Mereka akan menghindar dari keharusan mengambil keputusan karena merasa lebih mudah lepas tangan dan membiarkan lawan negosiasi melakukannya atas nama mereka.
Negosiator pasif memiliki cara pandang negatif. Hal itu membuatnya frustrasi karena merasa tidak mempunyai kemauan atau mudah menyerah. Di dalam dirinya, selalu ada penyangkalan diri dan sekap mengasihani diri sendiri. Kemungkinan timbulnya konfrontasi juga akan membuat mereka langsung menghindar dan melarikan diri. Perilaku pasif sering dipicu oleh kurangnya rasa percaya diri atau persiapan. Perilaku pasif bukanlah perilaku yang efektif untuk bernegosiasi karena negosiator seperti ini berpeluang sangat kecil untuk meraih apa yang diinginkan. Mereka sering kali harus menerima hasil lose-win. Untuk jangka panjang, negosiator pasif tidak akan diperhitungkan.
4. Perilaku Manipulatif
Perilaku seperti ini kadang kala disebut sebagai agresi tidak langsung karena didasari oleh keingingan untuk menang dengan cara apapun. Namun, tidak seperti perilaku agresif, orang berperilaku manipulatif, dalam jangka pendek, kadang kala percaya bahwa mereka telah memenangkan sesuatu untuk diri sendiri. Ketika mengetahui bahwa kesepakatan tersebut ternyata tidak semenguntungkan yang semula mereka pikirkan, mereka akan merasa telah ditipu dan kesal.
Dibandingkan dengan taktik agresif yang mencolok, perilaku tidak langsung lebih samar dan tersembunyi. Negosiator manipulatif selalu menyimpan tujuan teselubung, yaitu menempuh cara sendiri. Kebutuhan untuk memanipulasi berakar dari rasa takut jika tujuan yang dirahasiakan terbongkar. Rasanya akan jauh lebih aman untuk mengontrol dan memanipulasi daripada harus menghadapi konfrontasi langsung.
Berlaku manipulatif berarti menipu diri sendiri dan lawan negosiasi. Berlaku manipulatif juga berarti mendapatkan semua kebutuhan dengan cara licik, yaitu membuat lawan merasa bersalah jika tidak melakukan apa yang kita inginkan. Dari penampilan luarnya, karakter agresif tidak langsung mungkin tampak begitu menghormati lawan, tetapi sikap tidak sependapat yang tersembunyi sekalipun biasanya akan ketahuan. Orang yang berlaku manipulatif seringkali mematahkan semangat lawan dengan menggunakan kata-kata sinis untuk mengyngkapkan ketidaksetujuan mereka. Usaha untuk memperjelas atau mengklarifikasi mereka tanggapai dengan penyangkalan, sehingga lawan bingung, dan merasa bersalah.
Perilaku manipulatif umumnya tidak efektif digunakan dalam negosiasi karena lawan tidak akan penah benar-benar memercayai negosiator seperti itu, sehingga tidak ingin bernegosiasi. Negosiator manipulatif akan mencapai hasil win-lose.
Kali ini saya akan membagikan pengalaman saya dalam benegosiasi.
Sebagai seorang mahasiswa komunikasi khususnya bidang Public Relations, kemampuan bernegosiasi mutlak diperlukan. Keterampilan negosiasi yang baik , membuat kita mampu untuk mengutarakan keadaan kita tanpa merusak hubungan baik dengan orang lain, meningkatkan efektivitas diri, dan mengurangi kemungkinan orang lain untuk memanfaatkan kita.
Dalam kasus sehari-hari, sangat banyak hal yang membutuhkan kemampuan saya untuk bernegosiasi dengan baik. Misalnya negosiasi yang membuat saya harus berperilaku asertif, seperti ketika sedang ada meeting atau rapat-rapat organisasi. Contohnya saja saat saya sedang bertukar pendapat saat rapat tentunya kita sangat ingin pendapat kita digunakan atau aling tidak mendapat perhatian dari anggota rapat yang lain. Pada saat seperti itu, saya sangat perlu untuk bersikap asertif apalagi jika saya dalam posisi sebagai pemimpin rapat tersebut.
Contoh real yang baru saja terjadi siang ini adalah ketika saya ingin resign dari klub taekwondo saya yang lama ‘Bhisma Club’. Saya dan pelatih saya, yang biasa disebut sabeum dalam bahasa Korea, sangat terlihat bahwa kami berusaha untuk masing-masing bersikap asertif, namun ternyata tidak semudah itu. Saat saya menyampaikan keinginan saya untuk resign dari klub tersebut, sabeum saya tidak merasa kaget karena saya memang sudah terlalu sering izin latihan belakangan ini. Setelah itu ia mulai bersikap agresif dengan menyalahkan saya dan membeberkan beberapa kesalahan yang saya lakukan seperti tidak izin untuk mengadakan acara dengan klub lain, dua kali absen tanpa izin, dan tidak bilang-bilang saat saya ikut pertandingan dengan membawa nama kampus bukannya nama klub. Ketika itu saya hanya bisa berperilaku pasif, karena saya merasa bahwa posisi saya berada di bawah sabeum saya tersebut. Dan memang lagipula saya merasa bersalah sehingga saya kehilangan kepercayaan diri. Dengan begitu, saya berada dalam posisi lose dan sabeum saya dalam posisi win, dan seketika itu juga ia benar-benar menyerang psikologis saya dengan kata-katanya yang lembut tapi menusuk sampai mengatakan bahwa sama memang tidak perlu lagi dipertahankan di klub tersebut.
Meskipun begitu, agresinya tidak serta merta membuat saya melarikan diri dan frustrasi karena merasa tidak mempunyai kemauan atau mudah menyerah karena saya bukannya tanpa persiapan untuk menghadapi negosiasi ini. Saya merasa bahwa dengan sangat terpaksa saya harus menggunakan strategi manipulatif untuk membalikkan keadaan. Saya memaparkan beberapa alas an dan beragam alibi-alibi agar ia dapat mengerti keadaan saya hingga harus resign dari klub tersebut. Mulai dari keterbatasan waktu yang saya miliki, hingga jauhnya tempat latihan yang berada di Ciputat. Dengan alibi-alibi tersebut, saya berharap perilaku manipulative yang saya lakukan membuat posisi saya sejajar satu sama dengannya yang telah melancarkan serangan agresif. Lalu, ia pun berpikir dan mulai menimbang-nimbang untuk melepas saya.
Setelah itu, saya menyadari kesalahan saya. Saya baru ingat sebuah pelajaran penting yang saya dapatkan dari kuliah Teknik Lobi dan Negosiasi yang diterangkan oleh Ibu Puspita Zorawar bahwa di setiap negosiasi sebaiknya diawali dengan penyamaan persepsi. Seketika itu juga saya langsung mempraktekkan dengan mengatakan kita harus menyamakan persepsi terlebih dulu. Saya menjelaskan bahwa saya tidak bisa melanjutkan berlatih taekwondo di Bhisma Club karena saya sudah sangat sibuk dan mulai menggunakan waktu latihan di klub yang notabene merupakan weekend dimana pada waktu tersebut merupakan saat-saat saya memiliki banyak kegiatan sehingga sangat tidak efisien bagi saya jika tetap menjadi anggota klub tersebut dengan membayar sejumlah uang iuran sementara saya sangat jarang untuk bisa latihan disana. Dari penyamaan persepsi tersebut saya akhirnya mengetahui bahwa sabeum saya ternyata salah persepsi dengan mengira bahwa saya ingin pindah ke klub lain, padahal saya sama sekali tidak terpikir seperti itu karena saya ingin resign dari klub tersebut disebabkan kesibukan saya yang sangat padat bukannya malah pindah ke klub lain yang sama saja menuntut saya untuk aktif meskipun bukan termasuk dalam prioritas saya.
Akhirnya, kami kembali lagi pada perilaku asertif dimana harus menyelesaikan masalah dengan win-win solution. Ia memberikan syarat kepada saya untuk membuat surat pengunduran diri untuk melegalkan resign saya, san saya pun menyanggupi hal itu. Dan kami berdua mencapai kesepakatan yang memang menjadi tujuan utama dari sebuah negosiasi meskipun melalui strategi dan perilaku yang beragam. Namun, sebenarnya perilaku asertiflah yang memang memberikan kesepakan win-win bagi kami sehingga saya bisa mengundurkan diri secara baik-baik.
Selain empat macam perlaku ketika berhadapan dengan lawan negosiasi, ada juga strategi menghadapi konflik yang pasti terjadi dalam setiap negosiasi. Menurut Pruit dan Robin, strategi menghadapi konflik tersebut adalah sebagai berikut :
• Contending : cara ini adalah cara pemecahan masalah secara win – lose solution, yaitu dengan menyelesaikan masalah tanpa memperdulikan kepentingan pihak lain.
• Problem Solving : yaitu menyelesaikan masalah dengan memperdulikan kepentingannya sendiri dan pihak lain. Individu akan berinisiatif melakukan pemecahan masalah dengan negosiasi untuk mengatasi konflik. Solusi diarahkan pada agar kedua pihak dapat sepenuhnya mencapai tujuan dan mengatasi ketegangan dan perasaan negatif antara kedua pihak. Motivasi yang berkembang adalah untuk berkolaborasi.
• Yielding: yaitu dengan mengalah, menurunkan aspirasinya sendiri dan bersedia menerima ‘kurang’ dari yang sebenarnya diinginkan. Motivasi yang berkembang adalah keinginan untuk menyerah
• Forcing : Mengunakan Kekuasaan untuk menyelesaikan masalah.
• Inaction : yaitu dengan diam, tidak melakukan apapun. Masing-masing pihak saling menunggu tindakan pihak lain.
• Withdrawing: yaitu dengan menarik diri, memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis.
Sama seperti perilaku asertif yang menjadi andalan untuk mendapatkan kesepakatan dalam bernegosiasi, strategi problem solving juga memiliki fungsi yang sama. Strategi problem solving ini juga saya pakai untuk memecahkan masalah yang sudah saya ceritakan di atas. Saya tidak ingin menggunakan strategi withdrawing untuk kabur dari masalah. Karena saya tidak ingin status saya menggantung, jadi masalah itu harus segera diselesaikan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan terlalu lama.
Kebanyakan orang yang terlibat dalam negosiasi tidak menyukai konflik dan sering kali tidak mengetahui cara mengatasinya ketika benar-benar muncul. Mereka menganggap konflik hanya membuang waktu dan menjadi penghalang bagi upaya penyelesaian tugas. Namun, masalah utama yang timbul adalah konflik akan bertambah buruk jika diabaikan atau tidak ditangani dengan baik. Mmeskipun demikian, menangani konflik bisa menjadi proses kreatif dengan hasil yang positif, yaitu solusi dan hubungan yang lebih baik.
25 Oktober2010
No comments:
Post a Comment